http://i1079.photobucket.com/albums/w504/widgetandtutorial/1263910yehb7s9vel.gif

Jumat, 19 Oktober 2012

Beberapa Kewajiban Wanita Dalam Islam

Oleh : M. Taufik N.T
1. Menta’ati Suami, Selama Bukan Untuk Maksiat.
Rasulullah saw. bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka. Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum wanita yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka ? Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu banyak mengutuk dan mengingkari suami…. (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah, redaksi menurut imam Muslim).

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh seorang isteri itu tidak dikatakan menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya." (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad & Ad Darimi)

2. Mendidik Anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Suatu ketika Farrukh berpamitan kepada istrinya yang sedang mengandung untuk pergi ke medan perang. Maka sang istri menjawab, "Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini aku adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara."
Farrukh menjawab: "Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar (127,5 Kg emas) yang aku kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah harta itu. Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik hingga aku pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah karuniakan kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan."
Istrinya kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa bulan dari kepergian sang suami. Ia mendidik anaknya dengan baik, tanpa kehadiran suaminya, mendorongnya untuk berguru kepada para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah SAW, berguru kepada kalangan pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id bin al-Musayyab, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar. Yang akhirnya anaknya menjadi ‘ulama besar, Rabi’ah Ar Ra’yi. Farrukh sendiri pulang ke Madinah saat Rabi’ah Ar Ra’yi sudah menjadi seorang pemuda dan memimpin pengajian para ‘ulama.
3. Berperan Aktif dalam ‘Amar Ma’ruf Nahy Munkar

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar… (QS. At Taubah : 71)
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya,

أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ

‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia (ayahku) berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata,

اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ

Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim nomor 3055).
Suatu ketika ‘Umar bin Khattab berkata dari sebuah mimbar:

لَا تَغَالَوْا فِي صَدَقَات النِّسَاء

Janganlah kalian berlebih – lebihan dalam urusan mahar wanita. (HR. Ibnu Hibban dan Al Hakim, mereka menshahihkannya)

فَقَالَتْ اِمْرَأَة لَيْسَ ذَلِكَ لَك يَا عُمَر ، إِنَّ اللَّه يَقُول وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَب (فِي قِرَاءَة اِبْن مَسْعُود)

Maka berkatalah seorang wanita : ini bukan hak engkau wahai ‘umar, sesungguhnya Allah berfirman: sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak dari jenis emas . ‘Umar menjawab:

اِمْرَأَة خَاصَمَتْ عُمَر فَخَصَمَتْهُ

Seorang perempuan telah membantah ‘umar dan perempuan tersebut mengalahkannya. (Fathul Bâry, Ibnu Hajar Al Asqalany, Riwayat Abdurrazzaq dari jalan Abdurrahman As Sulamy).
Semua hal diatas memberikan gambaran bahwa seorang wanita juga punya kewajiban ‘amar ma’ruf nahy munkar, baik menasehati suaminya, masyarakatnya, termasuk juga menasehati penguasa, tentunya dengan tetap memperhatikan hukum- hukum Islam yang lain, dan tanpa meninggalkan kewajiban pokoknya sebagai ibu dan pendidik bagi anak – anaknya. ‘Allahu Ta’ala A’lam (bersambung – insya Allah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar